Tokoh IPNU: Biografi Singkat KH. Tolchah Mansoer - Pendiri IPNU - Profesor NU Yang Terlupakan

tokoh-ipnu-biografi-singkat-kh-tolchah-mansoer-pendiri-ipnu-profesor-nu-yang terlupakan
vektor KH. Tolchah Mansoer - Sumber: tebuireng.online

Tokoh IPNU: Biografi Singkat KH. Tolchah Mansoer - Pendiri IPNU - Profesor NU Yang Terlupakan - Siapa yang mengenal satu tokoh ini? Atau memang sudah terlupakan? Kiai yang sekaligus profesor ini tidak begitu dikenal oleh milenial sekarang ini. Walaupun begitu, KH. Tolchah Mansoer dengan segala kontribusinya terhadap Nahdlatul Ulama (selanjutnya kita sebut NU) tidak akan pernah hilang. Banyak yang beliau tekuni di masa kecil, mulai dari membaca dan menjadi seorang organisatoris.

Biografi Singkat Tolchah Mansoer

Berikut ini kita simak Biografi Singkat KH. Tolchah Mansoer.

Ayah dan Ibunya

KH. Tolchah Mansoer (selanjutnya kita sebut Mbah Tolchah) merupakan keturunan dari seorang pedagang tikar dan perkakas dari bambu yang bernama Mansoer dan Siti Nur Khatidjah penjual pakaian jadi dan kain. Ayah Mbah Tolchah ini berasal dari Blega, Bangkalan, yang merantau ke Malang, tepatnya di Sumber Pucung.

Berdasarkan sumber dari tim penelitian dari Pimpinan Pusat IPNU dalam menguak biografi KH. Tolchah Mansoer, Chusnul Chotimah, keponakan Mansoer (ayah Mbah Tolchah) menyatakan bahwa Mansoer merupakan orang yang gigih dalam berdagang. Penghasilan yang didapatnya tidak lain hanya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mansoer ingin anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses. Namun demikian, ternyata anak-anak Mansoer lebih memilih jalan hidup mereka masing-masing.

Ibu Mbah Tolchah, Siti Nur Khotidjah, tetangganya memanggilnya dengan nama Nurtijah. Merupakan seorang pedagang pasar yang sama dengan Mansoer. Nurtijah ini merupakan seorang keturunan ningrat dan saudagar kaya asal Madura. Ibu Nurtijah bernama Raden Ayu Srima, dan ayahnya bernama Nur Abidin.

Nurtijah merupakan orang yang sangat terbuka, dengan siapa saja beliau bergaul. Tidak memandang miskin ataupun kaya. Awalnya Nurtijah ini menikah dengan seorang R. Jalaluddin Krama Asmara, seorang keluarga kerajaan di Bangkalan, Madura. Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Raden Isman, yang kemudian dikenal Usman Mansoer. Usman lahir pada tahun 1924 di Madura. Namun, dengan umur Usman yang belum genap satu tahun ini, Nurtijah dan R. Jalaluddin bercerai. Akhirnya setelah keluarga Nurtijah mempertimbangkan, Nurtijah pun merantau ke Jawa dengan bayinya yang masih dalam susuan.

Nurtijah pun sampai di Malang, namun naasnya nasib buruk menimpanya. Kapal barang dagangan yang ia kirim ke Kalimantan tenggelam dihantam ombak. Ia mengalami kerugian besar. Akhirnya dengan sisa-sisa barang dagangan ia mulai membuka kios di los Pasar Besar, Malang.

Di pasar inilah Mansoer dan Nurtijah saling mengenal. Keduanya mengalami nasib yang sama dan berasal dari tanah yang sama, Blega, Bangkalan, Madura. Karena mereka saling merasa senasib dalam perantauan, akhirnya menumbuhkan rasa simpati satu sama lain. Dari saling mengenal dan simpati inilah akhirnya pada 1927 mereka menikah.

Mereka berdua tinggal di Sumber Pucung dan kemudian pindah ke Kampung Kidul Pasar. Di sinilah mereka membangun keluarga. Kesamaan profesi dan kultur, madura, membuat keduanya saling sinergi dan cocok satu sama lain.

Dari pernikahan itu, mereka memiliki tiga keturunan. Pertama, Ahmad (meninggal ketika masih bayi), kemudian Tolchah, dan Mardhiyah. Tolchah lahir pada 10 September 1930 di Malang. Sedang adiknya, Mardhiyah, lahir beberapa tahun setelah Tolchah. Kemudian nama anak-anak mereka diberi akhiran nama ayahnya. Begitu juga Usman (walaupun anak tiri). Usman yang nama belakangnya diberi nama ayahnya dikarenakan sejak kecil, bahkan bayi, sudah dibimbing dan dibina oleh ayah tirinya, Mansoer.

Pendidikan KH. Tolchah Mansoer

Tolchah lahir di Malang pada 10 September 1930. Tolchah kecil lebih senang membaca dan belajar daripada bermain. Namun bukan berarti dia tidak pernah bermain, intensitas bermainnya saja yang cukup rendah jika dibandingkan dengan belajar dan membacanya. Dia sering membaca buku kakaknya (Usman Mansoer) walaupun belum tingkatannya. Karena kegemarannya dalam membaca membuat ia memakai kacamata tebal walaupun masih kecil.

Pertama kali Tolchah sekolah di sebuah lembaga pendidikan yang pada waktu itu bernama Sekolah Rakyat (SR) Mualimin NU, Malang, tepatnya tahun 1937. Awalnya SR tersebut bernama Madrasah Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH. Nachrowi Tohir (Ketua Umum PBNU periode 1944 – 1951). Lembaga pendidikan ini medatangkan guru dari berbagai daerah, antara lain; Malang, Surabaya, Solo, bahkan Yogyakarta. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh bagi Mbah Tolchah adalah KH. M. Syukri Gazali, seorang tokoh yang kemudian menjadi Ketua Umum MUI periode 1981 – 1984. Di SR ini dia banyak belajar berbagai mata pelajaran, termasuk salah satunya adalah bahasa Belanda yang menjadi bekal baginya untuk mempelajari ilmu tata negara.

Setelah tuntas menjalani pendidikan di SR Mualimin NU, Tolchah melanjutkan pendidikannya di SMP Islam sampai kelas tiga, sekitar tahun 1945 – 1947. Namun setelah itu prosesnya dalam menuntut ilmu terhenti dikarenakan revolusi fisik melawan kolonialisme Belanda. Pada waktu itu, ia dan warga sekitar menungsi di daerah Malang Selatan yang relatif aman dari invasi tentara Belanda.

Seiring waktu berjalan, keadaan kembali membaik, dan Tolchah kembali ke kampung halamannya. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Taman Madya dan Taman Dewasa Raya pada 1949 – 1951. Di sinilah Tolchah melengkapi keilmuannya.

Bacalah: Tujuan Organisasi Secara Umum Serta Alasan dan Manfaat Mengikuti Organisasi di Kampus

Selain pendidikan formal yang dijalaninya, Tolchah juga menjalani pendidikan non formal berupa ngaji pasanan (sekarang ngaji kilat) yang khusus diadakan pada bulan Ramadhan. Tolchah menjalani ngaji pasanan ini di banyak pondok pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren AllHidayah, Lasem yang pengasuhnya adalah Mbah Ma’shum.

Idealisme KH. Tolchah Mansoer

Setelah lulus dari Taman Madya dan Taman Dewasa Raya, Tolchah mendapatkan ijazah persamaan dari SMA Negeri Malang. Berbekal ijazah tersebut, Tolchah melanjutkan proses pendidikannya di Yogyakarta.

Dia melanjutkan pendidikannya itu merupakan bentuk dorongan dari ibunya, Nurtijah, karena menginginkan anaknya menjadi orang yang berhasil serta dapat memberi kontribusi kepada masyarakat. Nurtijah menyatakan sanggup membiayai pendidikan Tolchah demi keinginannya itu.

Tolchah muda membangun idealisme dengan menatap masa depan di Yogyakarta. Dari Malang ia berangkat bersama kedua temannya, yaitu Sukaji (yang kemudian menjabat sebagai rektor UGM) dan Saefullah Mahyudin. Pada tanggal 25 Agustus 1951 mereka berangkat menggunakan kereta dari stasiun Besar Malang menuju stasiun Tugu Yogyakarta.

Tolchah memiliki semangat yang tinggi dalam kajian hukum dan tata negara sehingga dari Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik (HESP) di UGM, yang awalnya ia mengambil jurusan Sosial Politik berpindah ke jurusan Hukum Tata Negara. 

Awal Tolchah di Yogyakarta, ia memilih kos yang strategis untuk berproses. Pada waktu itu ia menempati sebuah kos di selatan Tugu Yogyakarta, yang merupakan jantung kota Yogyakarta. Di jalan Panembahan Senopati gang pertama inilah ia menghabiskan masa mudanya. Jika dilihat dari demografis kota Yogyakarta, tempat tinggal Tolchah merupakan titik temu antara dua universitas besar, yaitu UGM dan PTAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Pada saat itu UGM masih menempati kampus di sekitar Keraton Yogyakarta.

Karena semangatnya dalam dunia gerakan, pada tahun1953 Tolchah meninggalkan kuliah karena di satu sisi semangatnya dan di sisi lain karena NU pada waktu itu akan menghadapi kontestasi politik (pemilu) pada tahun 1955. Sehingga untuk menyiapkan kedua sisi tadi, pada tahun 1953 Tolchah meninggalkan pendidikannya selama enam tahun. Selama enam tahun itulah KH. Tolchah Mansoer menjalani prosesnya.

Dan pada tahun 1959 Tolchah kembali masuk di UGM dan mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1964. Menariknya adalah, pada tahun 1963 ia diminta untuk mengajar sebagai dosen di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN). Pendidikan formal dijalani sampai mendapatkan gelar doktor pada tahun 1968. KH. Tolchah Mansoer merupakan satu-satunya dari kalangan nahdliyyin yang memiliki gelar doktor.

Pengalaman Organisasi KH. Tolchah Mansoer

Selain konsentrasi pada pendidikannya, Tolchah juga ikut aktif dalam organisasi. Di pada 1945, saat masih duduk di bangku SMP, Tolchah menjadi Sekretaris Umum Ikatan Moerid Nahdatoel Oelama (IMNO) Wilayah Kota malang. Pada saat yang sama, juga tercatat dalam anggota Organisasi Putra Indonesia, salah satu oragnisasi yang mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada 1945 – 1948. Selain itu  Tolchah juga aktif dalam Pengurus Himpunan Putra Islam Indonesia. Di masa yang sama pula, Tolchah menjabat sebagai sekretaris Barisan Sabilillah untuk daerah pertempuran Malang Selatan dan sekaligus menjadi sekretaris bagian penerangan Markas Oelama Djawa Timoer (MODT).

Bacalah: Cari tahu pengertian organisasi menurut para ahli di sini

Di saat menjalani pendidikan Taman Madya dan Taman Dewasa Raya, ia sudah menjadi pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Malang. Di PII Tolchah menjabat sebagai Ketua Departemen Penerangan Pengurus Besar PII. Lalu ditahun 1952, ia menjabat sebagai Ketua I Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Yogyakarta. Selain itu Tolchah juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua panitia Kongres Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia.

Bergabungnya Tolchah di PII dan HMI disebabkan karena pada saat itu hanya dua organisasi tersebut yang merepresentasikan pelajar dan mahasiswa dalam sifatnya nasional bukan kedaerahan lagi. Ini disebabkan perang dunia kedua yang menimbulkan gerakan-gerakan akar rumput yang bersifat kedaerahan.

Mendirikan IPNU

Dalam konstelasi dua gerakan pemuda di atas, melalui Kongres al-Islam, PII dinobatkan sebagai satu-satunya organisasi pelajar muslim dan HMI dinobatkan sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim. Itulah yang pelajar dan mahasiswa muslim di Indonesia menjadikan keduanya sebagai wadah kaderisasi dan aktualisasi.

Walaupun begitu kalangan pemuda nahdliyyin, baik pelajar ataupun mahasiswanya, mengalami sebuah masalah. Masalah ini bermuara dari kontestasi politik yang dilakukan oleh “tetua” kedua organisasi tersebut, yakni ada yang berafiliasi kepada Parta NU dan Masyumi.

Di dalam prosesnya di PII sebenarnya kaum muda muda NU yang mengikuti organisasi tersebut merasakan kegelisahan. Kegelisahan ini terjadi karena kalangan santri tidak diwadahi oleh PII. Tolchah bersama rekannya, Ismail Makky yang merasakan kegelisahan tersebut. inilah yang menjadi pijakan ataupun faktor awal yang menginspirassi aktivis NU untuk membuat sebuah wadah yang mengakomodir seluruh pelajar dan santri NU.

Kegelisahan yang dirasakan Tolchah tampaknya menemukan momentum dengan gagasan yang sama di kalangan aktivis NU lainnya yang juga mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Ditambah lagi dengan fakta yang ada, bahwa wadah untuk mengakomodir pelajar dan santri NU masih bersifat kedaerahan. Sehingga akhirnya mahasiswa NU dari Yogyakarta, Solo, dan Semarang berkumpul untuk merealisasikan gagasan berupa pembentukan wadah pelajar dan santri yang berskala nasional.

Konsolidasi terus dilakukan oleh KH. Tolchah Mansoer bersama aktivis-aktivis NU lainnya. Mereka sering berkumpul di daerah Bumijo, Yogyakarta (kawasan sebelah barat Tugu Yogyakarta). Di sebuah kos-kosan gagasan tersebut dimatangkan dan pada akhirnya dibawa pada Konferensi Besar LP. Maarif di Semarang pada Februari 1954.

Gagasan aktivis-aktivis NU itu merupakan gagasan yang bagus di situasi yang begitu genting pada waktu itu, sehingga gagasan progresif tersebut disambut dengan baik oleh LP. Maarif dan dijadikan salah satu pembahasan dalam Konbes tersebut.

Dalam Konferensi Besar LP. Maarif itulah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) disahkan. Tepat pada 24 Februari 1954/ 20 Jumadil Akhir 1373 di Semarang IPNU berdiri dan dijadikan sebagai Hari Lahir IPNU.

Bacalah: 10 Pengertian Koordinasi Menurut Para Ahli dan 13 Manfaatnya dalam Sebuah Organisasi

Akhir hayat

Pada masa penyelesaian disertasi, kesehatan Tolchah mulai terganggu. Hampir seluruh hari-hari yang dijalaninya digunakan untuk membaca dan menulis disertasi. Dan puncaknya, saat ujian disertasi kesehatannya menurun drastis. Sehingga beberapa dokter mengawalnya untuk ujian disertasi. Walaupun daya tubuhnya yang lemah itu, Tolchah tidak patah semangat untuk tetap menjalani ujian. Di sana, Mbah tolchah didatangi ibunya, Siti Nur Khotijah, dari Malang untuk menyaksikan putranya meraih gelar doktor.

Dengan tubuh yang sudah tidak fit dan kuat lagi, Mbah Tolchah tetap mengajar dosen-dosen, mahasiswa, dan aktivis muda NU di kediamannya. Selain itu, dalam berdakwah Mbah Tolchah juga tidak kendor dalam melakukannya seiring bertambahnya usia beliau. Mbah Tolchah biasanya mengisi pengajian di Jepara, Lasem, Rembang, Magelang, Gunungkidul, dan Cilacap. Beliau merupakan seorang muslim yang langgeng menjaga wudlunya. Dan dalam setiap dakwahnya beliau juga membawa kitab-kitab sebagai referensi.

Karena pengabdiannya kepada NU yang dimulainya sejak kecil hingga akhir hayatnya, Mbah Tolchah dimasukkan dalam jajaran Rais Syuriah PBNU dalam Muktamar NU ke-27, di Situbondo, Jawa Timur. Ternyata, Muktamar tersebut merupakan Muktamar yang terakhir diikutinya. Mbah Tolchah pernah menyampaikan bahwa ia ingin meninggal dunia saat bertugas (mengabdi). Seringkali Mbah Tolchah menyampaikan, “Buat apa umur panjang jika tidak bermanfaat”. Bahkan di tengah kegelisahannya Mbah Tolchah sempat bilang, 

“Kalau sudah tidak bermanfaat, Saya siap untuk dipanggil oleh Allah Swt.”.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa hidup KH. Tolchah Mansoer digunakan untuk memberikan manfaat kepada dirinya sndiri,  keluarga, masyarakat, lebih-lebih bermanfaat dalam pandangan Allah Swt..

Bacalah: 8 Macam Bentuk Organisasi Secara Umum

Menjelang meninggalnya, Mbah Tolchah meninggalkan catatan emas berupa puisi yang sampai saat ini dijadikan kenangan serta teladan bagi anak cucunya. Berikut adalah puisi KH. Tolchah Mansoer:

“Langkahku panjang

Telah Lama Kuukur

Aku tak tahu

Berapa langkah lagikah

Hari-hariku telah berlalu

Dan berapa hari lagikah

Sudah dekatkah

Langkahku akan berhenti

Dan apakah hari-hariku

Hingga hari ini”

Beriring dengan rintik hujan setelah maghrib tepat pada 17 Shafar 1407 H/ 20 Oktober 1986 KH. Tolchah Mansoer meninggal dunia. Tokoh NU yang sederhana dan bersahaja ini banyak meninggalkan karya, organisasi, keluarga, dan murid. Semoga beliau termasuk ke dalam muslim yang selamat dunia akhirat. Amin.

Semoga dengan artikel biografi KH. Tolchah Mansoer ini kita dapat meneladani segala kebaikan yang pernah dilakukan beliau. Semoga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian serta seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan itu, bagikan artikel ini ke banyak orang. Terimakasih.

Artikel relevan klik di sini

0 Response to "Tokoh IPNU: Biografi Singkat KH. Tolchah Mansoer - Pendiri IPNU - Profesor NU Yang Terlupakan"